Minggu, 12 Juni 2011

satanisme

Musik Underground

Satanisme atau Kebodohan?

Benarkah mereka menggotong aliran musik pemuja setan? Kehidupan sehari-hari mereka ternyata tidak seseram yang dibayangkan. Namun, ada hal-hal yang kontradiktif.
Musik underground tak pelak telah memberikan nuansa tersendiri dalam dunia musik Indonesia sepanjang tahun 1997. Kendatipun, sesuai dengan sebutannya, aliran ini bergerak 'di bawah tanah' dan cenderung beredar 'hanya untuk kalangan sendiri', pengaruhnya diperkirakan akan kian meluas, khususnya di kalangan kaum muda.
Meluasnya pengaruh ini sebagian didukung oleh kian gencarnya pentas musik underground. Salah satu pemrakarsanya, Dewo, seorang entertainer dan MC kondang, mengungkapkan, "Saya melihat, anak-anak underground ini akan dianaktirikan oleh beberapa kalangan, sehingga belum pernah digelar secara terbuka. Lalu, saya punya ide, bagaimana kalau dibuat pagelaran, melihat musik ini juga bisa berkembang seperti grup-grup mayor label."
Pentas underground telah digelar di sejumlah kota seperti Jakarta, Yogyakarta, Purwokerto, Malang, Surabaya dan Denpasar.
Awal tahun 1998, 13 grup musik underground bergabung meluncurkan album rekaman (Kedaulatan Rakyat, 11/1). Album ini akan diedarkan kepada masyarakat luas.

Satanisme?

Sejauh ini, pemunculan aliran musik ini cukup mengundang kontroversi dan perdebatan. Tabloid Adil sempat menurunkan laporan utama mengenai aliran ini, bertitel "Bangkitnya Kelompok Pemuja Setan" (16/4/1997). Beberapa orang tua mengaku cemas mengamati anak mereka suka menyebut-nyebut Lucifer dan memasang atribut-atribut underground di kamarnya.
Personil dan fans aliran musik ini dapat dikenal melalui kostum kebesaran hitam-hitam (belakangan bermunculan pula corak warna lain) dengan hiasan nama dan lambang-lambang grup metal. Khusus para penggemar black metal, mereka suka mengenakan masker bermotifkan wajah setan.
Sangkakala berkesempatan melihat aksi mereka dari dekat ketika menyaksikan pentas "Benteng Bawah Tanah" di Yogyakarta, Minggu (7/12). Mereka berpolah mulai dari memutar-mutar kepala (head bang), melompat dari panggung ke tengah kerumunan penonton, saling membenturkan badan, menjerit histeris, membakar dupa dan menaburkan bunga hingga menggotong tengkorak binatang. Seorang penonton bahkan sempat meloncat ke atas panggung untuk mempertunjukkan aksi menggigit ular.
Selain itu, juga disajikan kostum-kostum khas yang antara lain menampilkan gambar Yesus disalib dengan isi perut terburai keluar, setan kembar dipaku pada kayu salib, jubah kepala kambing dan pentagram, hingga gambar gadis telanjang dada dengan tubuh berdarah bekas tikaman pisau atau gigitan. Sejumlah penonton menggoreskan gambar salib terbalik di dahinya.
Benarkah mereka pemuja setan? Sulit memang untuk melacaknya. Penggemar aliran ini jelas-jelas menolak anggapan tersebut.
Ketika menjumpai mereka di luar panggung, Sangkakala melihat kehidupan mereka tidak seseram yang dibayangkan. Solidaritas dan jaringan komunikasi di antara sesama undergrounder (sebutan bagi penggandrung aliran ini) justru terlihat kuat. Tak jarang mereka melakukan koordinasi antarkota, gotong-royong dan urunan untuk membayar pentas, mengingat masih langka pihak sponsor yang bersedia menyuntikkan dana.
Aliran ini muncul lebih sebagai protes terhadap aliran mainstream atau grup-grup mayor label. Mereka menganggap grup-grup itu menarik keuntungan komersial dengan bermain musik secara gampangan.
Grup-grup underground di Barat memang ada yang terang-terangan mengaku sebagai pemuja setan. "Tapi kalau di Indonesia, terlahir karena ingin berekspresi," kata Eko dari Mortal Scream.
Mereka juga menyadari keberadaannya di tengah budaya Timur, "Jadi kita cenderung mengambil aksi panggungnya saja, sekadar sensasi," tutur Eko lebih lanjut.
Penontonlah, konon, yang justru tidak tahu diri. "Penonton yang cuma ikut-ikutan, yang disebut abal-abal itu, yang sering keterlaluan. Nggak 'ngerti apa-apa sudah 'ngaku satanis," jelas Eko.
Dewo ikut menambahkan, undergrounders yang dikenalnya "kebanyakan orang-orangnya humanis sekali dan peka terhadap sekelilingnya".
Kepekaan inilah yang selanjutnya dituangkan melalui lirik-lirik lagu mereka, yang rata-rata bercerita tentang kebencian, pemberontakan, kematian dan bahkan kekuasaan setan di dunia.
"Musisi brutal death metal biasanya menggotong tema-tema kematian," kata Pandu, vokalis Ruction.
"Ruction sendiri banyak mengambil tema-tema sosial seperti kemunafikan serta kesadisan manusia. Misalnya, tentang pembunuhan: kita menculik orang, lalu menyiksanya untuk kepuasan diri sendiri." Pandu mengaku mengambil kisah nyata dari koran, seperti kasus ibu yang membunuh dan memotong-motong anaknya, dan dari buku-buku perang.
Gendon, vokalis dan penulis lirik Mortal Scream, mengungkapkan hal senada. "Biasanya kita mengambil masalah kemanusiaan. Maksudnya, sisi buruk manusia itu sendiri, seperti 'nggak punya moral, pemerkosa, penghujat," ujarnya.

Kekuatan Musik

Bila dicermati, ada hal-hal yang kontradiktif dalam pernyataan para undergrounders tadi.
Pernyataan tentang aksi panggung tadi, misalnya. Mungkinkah kita hanya mengambil aksi panggung suatu grup musik dengan mengesampingkan nilai-nilai yang ditawarkannya?
Musikolog Inggris, David Tame, dalam buku The Secret Power of Music menulis, "Moralitas sang musisi sangat menentukan… musik pasti selalu memiliki efek moral. Entah secara terang-terangan atau secara tidak kentara dikomunikasikan dari alam bawah sadar, melalui penampilannya seorang musisi selalu mengekspresikan keharmonisan atau ketidakkeharmonisan psikologis yang terjadi di dalam batin mereka."
Di bagian lain David Tame menulis, "Adapun yang paling menentukan sifat karya musik apa pun adalah keadaan mental dan emosional komposer atau musisinya. Esensi keadaan mental dan emosional itulah yang masuk ke dalam diri kita dengan kemampuan untuk membentuk dan mengubah kesadaran kita menjadi serupa dengan keadaan musisi tersebut." Melalui musik, nilai-nilai yang dianut sang musisi pun terserap ke dalam diri penyimaknya.
Jimmi Hendrix, idola musik rock akhir tahun 1960-an, menuturkan, "Musik pada hakikatnya bersifat rohani. Anda dapat menghipnotis dengan musik, dan sewaktu orang mencapai titik kesadaran terlemah, Anda dapat mengkhotbahkan apa saja yang Anda inginkan ke dalam alam bawah sadar mereka."

Bisa "Bersih"

Gambaran mereka tentang satanisme juga telihat baru menyentuh bagian permukaan.
Satanisme memang tidak selalu "seseram" yang kita bayangkan. Dengan kata lain, ritusnya tidak selalu melibatkan korban berdarah, baik dari binatang maupun manusia. Tidak pula selalu melibatkan penganiayaan seksual. Tidak. Satanisme bisa tampil "bersih".
Anton Szandor LaVey, pendiri gereja setan yang baru saja meninggal, mengungkapkan hakikat satanisme sebagai kesadaran bahwa kita adalah ilah bagi diri kita sendiri. Kita memiliki wewenang mutlak untuk menentukan dan melakukan apa yang kita sukai. Seperti dikatakan dalam Kitab Satan 4:3, "Katakanlah pada hatimu sendiri, 'Aku adalah penebus diriku sendiri'".
Dengan demikian, dalam satanisme sebenarnya orang tidak menyembah Satan (Iblis), melainkan menyembah dirinya sendiri! Meminjam kata-kata Billy Idol (musisi rock tahun 198-an), satanisme adalah "menari dengan diri sendiri."
Dari satanisme inilah bersumber gelombang individualisme, relativisme, humanisme, materialisme, hingga fatalisme.
Kontras dengan perintah utama Yesus Kristus, agar kita mengasihi Allah dan sesama, satanisme mendengungkan: "Lakukan urusanmu sendiri"' "Kebenaran itu subjektif; tidak ada standar moral yang mutlak", "Kalau kau suka, lakukan saja; terserah kamu." Beribadah pun, bila itu dilakukan menurut "kebenaran sendiri", justru merupakan saatanisme terselubung.
Yang "bersih" ini, dengan demikian, justru jauh lebih berbahaya. Kenapa? Karena jauh lebih menyesatkan, sengatnya jauh lebih mematikan. Firman Tuhan memperingatkan, agar kita waspada terhadap Iblis yang "menyamar sebagai malaikat Terang" (2 Korintus 11:4).

Meretas Mediokritas

Dalam Alkitab dikatakan, "Kalau orang bijak melihat malapetaka, bersembunyilah ia, tetapi orang yang tak berpengalaman berjalan terus, lalu kena celaka" (Amsal 22:3).
Sehubungan dengan fenomena musik underground ini, yang kemudian menjadi tanda tanya adalah, kenapa genre musik yang menyajikan citra-citra menyeramkan (grim imajery) lirik-lirik yang menggotong tema-tema "gelap", dan jelas-jelas berlabel satanisme itu disukai dan diikuti anak-anak muda?
Bagaimana dengan dalih, bahwa hal itu bisa ditangkal dengan keyakinan iman dan norma-norma ketimuran yang kita pegang? Adi Prasetyo, misalnya, menulis di Bernas (4/5/1997), "Menengok liriknya, mungkin lebih bijaksana jika kita bisa memandangnya hanya semata-mata sebagai lirik pelengkap lagu, bukan suatu keyakinan atau ajakan. Dengan menguatkan iman, mengembangkan kedewasaan dan keluasan berpikir, tentu bisa mengimbangi pengaruh kekuatan lirik tersebut."
Kalau kita menyadari dahsyatnya kekuatan musik, dapat diajukan pertanyaaan balik: Dalih tersebut menandakan keteguhan iman, kedewasaan dan keluasan cara berpikir atau suatu sikap masa bodoh? Firman Tuhan memperingatkan, "Sebab itu siapa yang menyangka, bahwa ia teguh berdiri, hati-hatilah supaya ia jangan jatuh!" (1 Korintus 10:12). John White, seorang psikolog Kristen, menulis, "Kalau kita merasa sanggup mengendalikan kejahatan, kita tidak akan pernah berusaha keras untuk menjauhinya."
George Orwell suatu ketika menggambarkan bagaimana seorang seniman menghadapi kejenuhan dalam kreativitas. Untuk meretas kungkungan mediokritas, ia menyisipkan hal-hal yang dianggap bobrok oleh tatanan budaya dan moral, guna meningkatkan nilai karyanya.
"Selalu sebuah ada jalan keluar: berpalinglah kepada kejahatan. Lakukanlah hal-hal yang akan mengguncangkan dan melukai orang banyak ... melemparkan seorang anak kecil dari jembatan, mencambuk seorang dokter tua - atau, paling tidak, bayangkanlah hal-hal semacam itu," tuturnya. "Di situlah engkau akan menjumpai jati dirimu."
Tampaknya fenomena inilah yang melatarbelakangi perkembangan dan penerimaan musik underground. Heru Emka dalam bukunya, Thrash Metal dan Grindcore sebagai Musik Alternatif, secara tidak langsung memaparkan adanya dua pemicu.
Secara internal, aliran ini merupakan gerakan perlawanan terhadap kemapanan budaya rock yang tumpul. Secara eksternal, mereka memberontaki proses dehumanisasi yang kian meruyak, antara lain dengan makin mencoloknya alienasi.
Alienasi ini, menurut Melvin Seeman, ditandai dengan kondisi rasa tanpa daya (powerlesness), ketiadaan makna hidup (meaningless), kehampaan norma hidup (normless), rasa terkucil (isolation), dan rasa keterpencilan diri (self-estrangement).
Lebih lanjut Heru Emka mengungkapkan, "Bentuk-bentuk pengucapan seni modern seperti grindcore [salah satu jenis musik underground - Red.] memang dimaksudkan sebagai pengejut (shocker) bagi dinamika budaya yang mati suri."
Adapun George Orwell menyatakan, "Seni mencapai puncak kebobrokannya ketika keberadaannya dimaksudkan untuk mengguncangkan (to shock)."

Lebih Keras

Fenomena ini dapat dijumpai pada perkenalan anak-anak muda itu dengan musik underground.
"Saya senang thrash metal pas kelas 3 (SMU - Red.)," tutur Gendon. "Saya senang 'ndengerin musik dari grup-grup seperti Creator, Sepultura, Metallica, dan kemudian saya mencari yang lebih keras, misalnya Suffocation. Untuk bisa nangkep lirik-liriknya, kita mesti masuk ke situ. Kita baca teksnya, ternyata bisa! Lama-lama suka, terus kita hayati."
Pandu mengungkapkan pengalaman serupa. Berawal dari menyukai Sepultura, Creator dan Napalm Death, "Saya memilih jalur ini karena bersemangat, berbobot, dan penuh skill. Kalau saya simpulkan sendiri, brutal death metal itu seperti main jazz tapi 'ngebut! Fans kami suka musik yang kencang, aksi panggung dan kaos hitam. Soal lirik nggak selalu mereka dengar, soalnya kita seperti orang mengerang di panggung."
Adakah kegandrungan kaum muda kita kepada musik underground merupakan sinyal, bahwa budaya kita tengah bergulir ke tahap yang dimaksudkan Orwell? Apa yang terjadi sekarang ini seperti sebuah benih. Haruskah kita menunggu satu dua dasa warsa (atau bahkan lebih cepat) lagi untuk menuai buahnya, dan kemudian baru menyadari kesalahan yang telah kita buat hari ini?
Kita bisa terus "menari dengan diri sendiri", terus "… mati karena pelanggaran dan dosa-dosamu… hidup di dalamnya, karena kamu mengikuti jalan dunia ini, karena kamu menaati penguasa kerajaan angkasa (Satan)… hidup di dalam hawa nafsu daging dan menuruti kehendak daging dan pikiran… yang jahat" (Efesus 2:1-3). Atau, kita bisa mengarahkan telinga kita kepada musik surga dan membiarkan Tuhan mengajarkan kepada kita sebuah tarian baru, sebuah cara baru untuk menjalani kehidupan ini. *** (Berdasarkan laporan wartawan Sangkakala di sejumlah kota)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar